Kakalight.org. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Potensi Pengembangan Energi dari Biomassa Hutan di Indonesia

Potensi Pengembangan Energi dari Biomassa Hutan di Indonesia 


Pengembangan sumber energi dapat diperbaharui, termasuk biomassa, merupakan fundamental bagi kesinambungan ketersediaan energi masa depan. Biomassa dapat memainkan peranan penting sebagai sumber energi yang dapat diperbaharui, yang berfungsi sebagai penyedia sumber karbon untuk energi, yang dengan menggunakan teknologi modern dalam pengkonversiannya dapat menjaga emisi pada tingkat yang rendah. Di samping itu, penggunaan energi biomassa pun dapat mendorong percepatan rehabilitasi lahan terdegradasi dan perlindungan tata air. Secara general, keragaman sumber
biomassa dan sifatnya yang dapat diperbaharui dapat berperan sebagai pengaman energi di masa mendatang sekaligus berperan dalam konservasi keanekaragaman hayati. 

Biomassa dapat digunakan untuk menyediakan berbagai vektor energi, baik panas, listrik atau bahan bakar kendaraan. Namun demikian, energi biomassa dapat berasal dari berbagai sumber daya dan mungkin juga rute konversi yang beragam, sehingga dapat menimbulkan pemahaman yang kompleks dalam implikasinya. Sejumlah isu memerlukan klarifikasi dalam rangka memahami potensi biomass sebagai sumber energi yang berkesinambungan: mengenai sumber daya dan ketersediaannya, aspek logistik, biaya-biaya rantai bahan baker, dan dampaknya terhadap lingkungan. Di sisi lain juga timbul pertanyaan berapa kuantitas residu yang dapat digunakan dari suatu sumber biomassa, dimana dan bagaimana harus dikembangkan, apa dan bagaimana kebutuhan infrastruktur harus dipenuhi, kesemuanya memerlukan pertimbangan yang seksama. 

Tulisan singkat ini akan memaparkan potensi pengembangan biomassa hutan sebagai bahan substitusi minyak bumi dan kontribusinya kepada pengurangan emisi CO2 di Indonesia. 

1. Status Implementasi Bioenergi 

Peningkatan konsumsi bahan bakar fosil menyebabkan peningkatan emisi yang pada gilirannya akan menimbulkan pemanasan global yang berpengaruh nyata terhadap pola hidup dan kehidupan manusia. Dengan demikian penggunaan energi yang terbarukan, dalam hal ini bioenergi perlu terus dikembangkan. 

Penggunaan biomassa untuk listrik (bioelectricity) di Indonesia masih sangat jarang ditemukan. Beberapa diantaranya telah dikembangkan oleh PT. Ajiubaya di sebagian kecil wilayah Kabupaten Sampit, Kalimantan Timur, dengan kapasitas 4 - 6 MW, dan juga beberapa instalasi Bioner-1 (gasifikasi biomassa yang dikoneksikan pada mesin diesel yang dapat digunakan untuk power generating, pompa dan mesin penggiling) yang dikembangkan oleh PT. Boma Bisma Indra dengan kapasitas sekitar 18 kW juga dimanfaatkan dibeberapa wilayah di Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi Utara [5, 8]. 

Beberapa perusahaan industri, baik milik pemerintah maupun swasta juga telah memulai penggunaan bioenergi sebagai pembangkit listrik, energi mekanik dan energi panas. Utami (1997) dalam Boer et al [1] melaporkan bahwa Indonesia telah mempunyai sekitar 50 unit gasifikator dengan kapasitas antara 15-100 kW/unit atau total kapasitas sekitar 2.200 kW. Sebagai tambahan, sekitar 200 unit biogas (diproduksi dari biomassa melalui proses fermentasi anaerobic) juga telah dimanfaatkan dibeberapa daerah pedesaan dengan kapasitas 4 - 15 m3. 

2. Prospek Implementasi Bioenergi 

Masih banyaknya wilayah yang belum menikmati listrik negara ataupun swasta, dan belum optimalnya pemanfaatan biomassa merupakan prospek yang sangat besar dalam implementasi bioenergi. 

Sisa pemanfaatan kayu merupakan sumber potensial bagi pembangkit listrik tenaga biomassa. Biomassa yang belum dimanfaatkan tersebut sebagian besar bersumber dari sisa pembalakan, konversi lahan hutan, maupun dari perkebunan rakyat. 

Di samping residu biomassa dari hutan alam, residu biomassa dari hutan tanaman juga berpotensi besar sebagai sumber energi, dimana program pemanfaatannya bisa diintegrasikan dengan kegiatan lain berbasis sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Dalam implementasi- nya, program pengembangan bioenergi di daerah sekitar hutan ini selain berkontribusi dalam peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat yang umumnya berpenghasilan rendah, juga dapat menjadi sarana komunikasi yang efektif untuk tujuan pengelolaan hutan berkelanjutan. 

Dengan limpahan residu dari biomassa hutan yang sangat besar, maka implementasi energi biomassa memiliki prospek yang besar. Di samping itu pemanfaatan biomassa menjadi energi pun dapat mengurangi emisi CO2 baik dari respirasi akibat dekomposisi maupun dari kemungkinan kebakaran, serta berkontribusi besar pada penurunan penggunaan bahan bakar fosil yang semakin langka dan mahal. 

3. Teknologi Konversi Biomassa Menjadi Energi 

Semua material organik mempunyai potensi untuk dikonversi menjadi energi. Biomassa dapat secara langsung dibakar atau dikonversi menjadi bahan padatan, cair atau gas untuk menghasilkan panas dan listrik. 

a. Konversi biomassa pada ketel uap modern 


Gambar 1. Mata rantai konversi biomassa menjadi energi panas, listrik, dan bahan bakar kendaraan 

Biomassa dibakar pada ketel uap modern untuk menghasilkan panas, listrik atau kombinasi panas dan tenaga. Sistem ini secara komersial telah banyak digunakan di Amerika Serikat, Australia, Finlandia dan German, walaupun secara tipikal hanya menghasilkan 20% energi jika dibandingkan dengan bahan baker fosil. 

b. Proses anaerobik 

Merupakan proses biologi yang konversi biomass baik padatan maupun cair menjadi gas tanpa oksigen. Gas yang dihasilkan didominasi methane dan CO2. Hasil ikutan berupa kompos dan pupuk untuk pertanian dan kehutanan. Teknologi ini telah dikembangkan secara komersial di Europa dan Amerika utara. 

c. Gasifikasi Biomassa 

Gasifikasi merupakan konversi dengan menggunakan parsial oksidasi pada suhu karbonisasi sehingga menghasilkan bahan bakar gas dengan level panas berkisar antara 0,1-0,5 dari gas alam, tergantung proses gasifikasi yang digunakan. Konversi ini lebih menguntungkan secara ekonomi dibandingkan dengan pembakaran langsung, bersih, dan efisien dalam pengoperasian. Produk dari gasifikasi ini dapat juga di-reform untuk menghasilkan methanol dan hydrogen. Teknologi ini sedang dalam awal komersial. 

d. Pyrolysis Biomassa 

Pyrolysis merupakan pendegradasian panas pada biomassa tanpa oksigen, untuk menghilangkan komponen volatile pada karbon. Hasil dari proses ini selalu dalam bentuk gas, dan hasil penguapannya dapat menghasilkan bahan bakar cair dan padatan sisa. Bahan bakar cair ini dapat menghasilkan panas dan listrik apabila dibakar dalam ketel uap, mesin atau turbin. Produk lain dari proses pyrolysis ini adalah berupa arang dan bahan kimia. Teknologi konversi pyrolysis biomassa ini telah demonstrasikan di Europa selama 3 tahun, dari tahun 2002 - 2005. 

e. Pembuatan arang 

Penyiapan lahan baik pertanian maupun HTI (Hutan Tanaman Industri) seringkali dengan cara pembakaran, selain beresiko kebakaran dan gangguan pernafasan, cara inipun dapat menstimulus pemanasan global akibat peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer. Dengan mengkonversinya menjadi arang tentunya dapat meminimalkan emisi, pun menambah penghasilan masyarakat. Selain digunakan sebagai sumber panas, arang pun dapat digunakan sebagai kondisioner tanah untuk mempercepat terjadinya simbiotik antara akar dengan mikoriza, yang berkontribusi pada percepatan pertumbuhan tanaman dan penyerapan emisi CO2 di atmosfir. 

Dalam hubungannya dengan peningkatan karbon sequestrasi, konversi biomassa menjadi arang merupakan salah satu pilihan bijak yang efektif dan efisien, karena karbon pada arang dapat disimpan dalam durasi yang lama dibanding dengan karbon pada bentuk kayu [6]. 

4. Pengembangan Energi Biomassa 

Penggunaan bahan bakar biomassa atau kayu sebagai bahan pensubstitusi bahan bakar fosil merupakan salah satu peranan penting hutan. FAO mengestimasi bahwa penggunaan biomassa di negara berkembang berkontribusi sekitar 15% dari total biaya energi yang diperlukan [2]. 

Pada tahun 2000, sekitar 18,4 GW energi biomassa telah diinstalasi di negara-negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development), yang terdiri dari negara-negara di Amerika Utara, Europa dan Pasifik [4]. Amerika Serikat mendominasi 7.4 GW, salah satunya dikembangkan di Wisconsin oleh Northern States Power Co. dengan kapasitas 75 MW. 

Finlandia merupakan negara yang memiliki instalasi energi biomassa terbanyak dengan proporsi sekitar 8% dari total negara-negara anggota OECD. Dengan luas areal dan potensi hutan yang jauh lebih besar dari Finlandia (24.4 juta ha), Indonesia memiliki prospek pengembangan energi biomassa yang potensial dan kompetitif. 

Terkait dengan kelangkaan bahan bakar minyak serta besarnya potensi pengembangan energi biomassa di Indonesia, maka dalam proses pengembangannya perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 

  1. Pengembangan energi dari biomassa perlu didukung teknologi konversi yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan. 
  2. Pasar yang kompetitif perlu diciptakan sehingga residu biomassa dari kehutanan dapat dimanfaatkan optimal, tanpa berefek negatif pada keberlanjutan eksploitasi. 
  3. Pengembangan bioenergi dari biomassa harus diintegrasikan dengan kebijakan terkait dari sektor energi, lingkungan, pertanian, dan kehutanan, sehingga terjadi insentif yang merangsang pertumbuhan dari semua sektor yang diintegrasikan. 
  4. Kebijakan yang dibuat harus berjangka panjang untuk merangsang investasi, dan pemerintah harus menetapkan target dan ukuran kebijakan yang menguntungkan semua pihak. 
  5. Kontinuitas penelitian, pengembangan, desiminasi, dan demonstrasi terhadap tipe/jenis biomassa, manajemen, serta teknologi konversinya, sehingga efektif dan efisien secara ekonomi dan ramah lingkungan dari sisi ekologi.  Disamping iklim usaha yang kompetitif, pengembangan energi dari biomassa yang berkesinambungan secara ekonomi, lingkungan dan sosial, harus pula memperhatikan beberapa kriteria berikut: 
  • Biomassa yang digunakan harus berasal dari sumber yang dapat diperbaharui yang dikelola dengan manajemen yang berkelanjutan. 
  • Biaya-biaya proses harus dijaga rendah untuk memastikan efisiensi ekonomi. 
  • Bahan input lain yang dipergunakan dalam rantai teknologi konversi yang berasal dari sumber yang tidak dapat diperbaharui harus tetap rendah untuk menekan tingkat emisinya dan dengan tetap menggunakan teknologi konversi terbaik. 
  • Rancangan pengembangan bioenergi harus bermanfaat bagi pembangunan masyarakat secara luas. 

5. Penutup 

Energi berbasis biomassa berpotensi besar dalam mendukung pasokan energi yang berkelanjutan di masa mendatang. Meskipun demikian, pengembangannya harus dirancang sedemikian rupa sehingga berefek positif terhadap pembangunan sosial ekonomi masyarakat dan di pihak lain juga tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. 

Semua teknologi konversi biomassa menjadi energi bisa diterapkan di Indonesia, dengan pengembangan disesuaikan dengan besaran supply biomassa, teknologi yang telah dikuasai, ketersediaan anggaran dan jenis produk yang dibutuhkan pasar di masing-masing daerah. Alternatif teknologi konversi dalam mengantisipasi kelangkaan BBM misalnya, akan lebih tepat bila teknologi gasifikasi dan proses anaerobik yang diterapkan; selain lebih efisien, produknya pun berupa bahan bakar gas yang dapat digunakan sebagai sumber panas, listrik dan bahan bakar kendaraan. 

Kebijakan pemerintah yang komprehensif dan terintegrasi dengan sektor terkait juga perlu dirancang guna merangsang iklim investasi yang kondusif dan kompetitif. 

Pengembangan energi berbasis biomassa sebagai energi yang dapat diperbaharui pada akhirnya akan mampu mensubstitusi bahan bakar fosil dengan kuantitas besar, yang pada gilirannya akan mereduksi jumlah CO2 yang di emisikan ke atmosfir. 

Dalam konteks global, untuk mereduksi gas rumah kaca dalam jangka panjang, pasokan biomassa yang stabil dan berkelanjutan merupakan tuntutan mutlak bagi pengembangan energi biomassa. Dengan demikian struktur insentif dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan perlu diciptakan secara kompetitif.

0 comments:

Posting Komentar

ShareThis

\