Gambut terbentuk dari
seresah organik yang terdekomposisi secara anaerobik dimana laju penambahan
bahan organik lebih tinggi daripada laju dekomposisinya. Di dataran rendah dan
daerah pantai, mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang
dipertahankan oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian penumpukan
seresah tanaman yang semakin bertambah menghasilkan pembentukan hamparan gambut
ombrogen yang berbentuk kubah (dome) . Gambut ombrogen di Indonesia terbentuk
dari seresah vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun, sehingga
status keharaannya rendah dan mempunyai kandungan kayu yang tinggi
(Radjagukguk, 1990).
Di daerah tropis,
penggunaan lahan gambut dimulai pada tahun 1900-an. Penebangan hutan,
pembakaran dan pengatusan lahan dilakukan untuk tujuan pertanian dan pemukiman.
Untuk tujuan perdagangan, 150.000 km2 per tahun dari lahan gambut dibuka dan
diambil hasil kayunya, sedangkan di beberapa negara gambut digunakan sebagai
energi sumber panas (Anonim, 2002). Hal ini tentu saja akan memberikan dampak
yang sangat kuat bagi penurunan stabilitas gambut.
Di Asia Tenggara
terdapat 70% dari total gambut tropik dunia terutama di Indonesia dan Malaysia.
Di Indonesia lahan gambut tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian
Jaya. Tidak seluruh lahan ini bisa dikembangkan, tetapi diperkirakan masih
mungkin untuk dimanfaatkan seluas 5,6 juta hektar (Subagyo et al, 1996).
Sejalan dengan
pertambahan penduduk dan keterbatasan lahan pertanian menyebabkan pilihan
diarahkan pada lahan gambut baik untuk kepentingan pertanian maupun untuk
pemukiman penduduk. Penggunaan lahan gambut untuk pertanian dengan semestinya
dan efisien akan memberikan sumbangan
bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dengan kata lain, pemanfaatan
lahan gambut yang dengan tidak semestinya akan menyebabkan kehilangan salah
satu sumber daya yang berharga, dikarenakan lahan gambut merupakan lahan
marginal dan merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Ardjakusuma
et al, (2001) melaporkan bahwa di Kalimantan Tengah banyak dijumpai lahan
bongkor yaitu lahan gambut yang
terdegradasi (rusak) dan dibiarkan/ditinggalkan oleh pengelolanya, sehingga
menjadi lahan tidur sebagai akibat pembukaan lahan gambut pada masa Pelita I.
Pemanfaatan gambut dan
lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan dengan pertanian
berkembang cukup pesat. Berbagai tanaman semusim dan tanaman tahunan dapat
dibudidayakan pada lahan gambut tetapi yang paling berhasil atau menunjukkan
harapan adalah tanaman sayuran, tanaman buah-buahan (seperti nanas, pepaya dan
rambutan) dan tanaman perkebunan (terutama kelapa, kelapa sawit, kopi dan
karet).
Pengembangan pertanian
pada lahan gambut menghadapi banyak kendala yang berkaitan dengan sifat tanah
gambut. Menurut Soepardi (1979) dalam Mawardi et al, (2001), secara umum sifat
kimia tanah gambut didominasi oleh asam-asam organik yang merupakan suatu hasil
akumulasi sisa-sisa tanaman. Asam organik yang dihasilkan selama proses
dekomposisi tersebut merupakan bahan yang bersifat toksid bagi tanaman,
sehingga mengganggu proses metabolisme tanaman yang akan berakibat langsung
terhadap produktifitasnya. Sementara itu secara fisik tanah gambut bersifat
lebih berpori dibandingkan tanah mineral sehingga hal ini akan mengakibatkan
cepatnya pergerakan air pada gambut yang belum terdekomposisi dengan sempurna
sehingga jumlah air yang tersedia bagi tanaman sangat terbatas.
LAHAN
GAMBUT
Penyebaran
Lahan Gambut
Lahan gambut mempunyai
penyebaran di lahan rawa, yaitu lahan yang menempati posisi peralihan diantara
daratan dan sistem perairan. Lahan ini sepanjang tahun/selama waktu yang
panjang dalam setahun selalu jenuh air (water logged) atau tergenang air. Tanah
gambut terdapat di cekungan, depresi atau bagian-bagian terendah di pelimbahan
dan menyebar di dataran rendah sampai tinggi. Yang paling dominan dan sangat
luas adalah lahan gambut yang terdapat di lahan rawa di dataran rendah
sepanjang pantai. Lahan gambut sangat luas umumnya menempati depresi luas yang
menyebar diantara aliran bawah sungai besar dekat muara, dimana gerakan naik
turunnya air tanah dipengaruhi pasang surut harian air laut.
Penyebaran lahan gambut
secara dominan terdapat di pantai timur pulau Sumatera, pantai barat dan
selatan pulau Kalimantan dan pantai selatan dan utara pulau Irian Jaya.
Penyebaran dan data luas gambut di Indonesia yang lebih pasti dan akurat belum
dapat dipastikan. Terkecuali Sumatera yang gambutnya secara relatif telah
banyak diteliti selama berlangsungnya Proyek Pembukaan Pasang Surut 1969-1984
(Subagyo, et al, 1996).
Luas lahan rawa yang
terdiri tanah gambut dan tanah mineral (non-gambut) di Indonesia diperkirakan
seluas 39,4-39,5 juta hektar, yakni kurang lebih seperlima (19,8 %) luas
daratan Indonesia. Dari luasan tersebut tanah gambut terdapat sekitar 13,5-18,4
juta hektar atau rata-rata 16,1 juta hektar.
Sementara itu Nationwide Survey of Coastal and
Near Coastal Swampland yang dilaksanakan oleh Euroconsult (1984) menyajikan
data sebagai berikut : (Diemont, 1991, Subagyo et al, 1996)
1. Lahan rawa pasang
surut :
24,6 juta ha
2. Tanah gambut (peat) :
20,0 juta ha
3. Lahan rawa pasang
surut air payau/salin : 3,5-4
juta ha
4. Lahan rawa mangrove
dan gambut dalam (lebih dari 2 meter) tidak sesuai untuk pertanian : 16,0
juta ha
5. Tanah mineral dan
gambut dangkal (kurang dari 2 meter) telah direklamasi menjadi lahan pertanian : 3,3 juta ha
6. Gambut dangkal masih
tertutup hutan, secara potensial sesuai untuk reklamasi guna lahan pertanian :
5,6 juta ha
Jika data tersebut
masih berlaku, karena sampai tahun 2000 tidak terdapat proyek reklamasi lahan
rawa berskala besar, maka lahan gambut dangkal yang potensial untuk usaha
pertanian diperkirakan masih terdapat 5,6 juta hektar.
Berdasarkan tingkat
kesuburan alami, gambut dibagi dalam 3 kelompok yakni eutrofik (kandungan
mineral tinggi, reaksi gambut netral atau alkalin), oligotrofik (kandungan
mineral, terutama Ca rendah dan reaksi masam) dan mesotrofik ( terletak
diantara keduanya dengan pH sekitar 5, kandungan basa sedang). Ketebalan atau
kedalaman gambut juga menentukan tingkat kesuburan alami dan potensi
kesesuaiannya untuk tanaman. Widjaja-Adhi,
et al, (1992) dan Subagyo, et al, (1996) membagi gambut dalam 4 kelas,
yaitu dangkal (50-100 cm), agak dalam (100-200 cm), dalam (200-300 cm) dan
sangat dalam (lebih dari 300 cm).
Berdasarkan lingkungan
tumbuh dan pengendapannya gambut di Indonesia dapat dibagi menjadi dua jenis
yaitu (1) gambut ombrogenous, dimana kandungan airnya hanya berasal dari air
hujan. Gambut jenis ini dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan
pembentuk yang semasa hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kadar
abunya adalah asli (inherent) dari tumbuhnya itu sendiri (2) gambut topogenous,
dimana kandungan airnya hanya berasal dari air permukaan. Jenis gambut ini
diendapkan dari sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuh dari pengaruh elemen
yang terbawa oleh air permukaan tersebut. Daerah gambut topogenous lebih
bermanfaat untuk lahan pertanian dibandingkan dengan gambut ombrogenous, karena
gambut topogenous mengandung relatif lebih banyak unsur hara (Rismunandar,
2001).
Sifat-sifat
Tanah Gambut
Diantara sifat inheren yang penting dari tanah
gambut di daerah tropis adalah : bahan penyusun berasal dari kayu-kayuan, dalam
keadaan tergenang, sifat menyusut dan subsidence ( penurunan permukaan gambut)
karena drainase, kering tidak balik, pH yang sangat rendah dan status kesuburan
tanah yang rendah. Pengembangan usaha pertanian sangat dibatasi oleh beberapa
hal di atas (Andriesse, 1988).
A. Sifat
Fisik
Gambut tropis umumnya
berwarna coklat kemerahan hingga coklat tua (gelap) tergantung tahapan
dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang air 15-30 kali
dari berat kering, rendahnya bulk density (0,05-0,4 g/cm3) dan porositas total
diantara 75-95% menyebabkan terbatasnya penggunaan mesin-mesin pertanian dan
pemilihan komoditas yang akan diusahakan (Ambak dan Melling, 2000)
Sebagai contoh di
Malaysia, tiga komoditas utama yaitu kelapa sawit, karet dan kelapa cenderung
pertumbuhannya miring bahkan ambruk
sebagai akibat akar tidak mempunyai tumpuan tanah yang kuat (Singh et al,
1986).
Sifat lain yang merugikan adalah apabila
gambut mengalami pengeringan yang berlebihan sehingga koloid gambut menjadi
rusak. Terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying) dan gambut berubah
sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air
(Subagyo et al, 1996). Gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5 minggu
pengeringan dan ini mengakibatkan gambut mudah terbakar.
B.
Sifat-sifat Kimia
Ketebalan horison
organik, sifat subsoil dan frekuensi luapan air sungai mempengaruhi komposisi
kimia gambut. Pada tanah gambut yang sering mendapat luapan, semakin banyak
kandungan mineral tanah sehingga relatif lebih subur.
Tanah gambut tropis
mempunyai kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih
dari 90%. Secara kimiawi gambut bereaksi masam (pH di bawah 4) Andriesse
(1988). Gambut dangkal pH lebih tinggi (4,0-5,1), gambut dalam (3,1-3,9).
Kandungan N total tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N
yang tinggi. Kandungan unsur mikro khususnya Cu, B dan Zn sangat rendah (
Subagyo et al, 1996).
Di Malaysia, pH gambut
berkisar antara 3,2 – 4,9 sedangkan di pantai timur Sumatera berkisar 3,42 –
4,3. Gambut yang berkembang disepanjang pantai timur Sumatera mempunyai
sifat-sifat : gambut dalam (lebih dari 4 m) dengan status hara kahat N, P, K,
Mg, Ca, Zn dan B berada dalam keadaan cukup, sedangkan faktor pembatas utama
pada lahan gambut adalah tidak tersedianya unsur Cu bagi tanaman (Sudradjat dan
Qusairi, 1992).
1 comments:
lengkap banget infonya kak makasih
sosis bratwurst adalah
Posting Komentar