Dalam istilah yang
tepat, konsep pertanian berkelanjutan pada lahan gambut sebenarnya bukan
merupakan istilah yang tepat dikarenakan adanya daya menyusut dan adanya subsidence
selama penggunaannya untuk usaha pertanian. Akan tetapi, hal tersebut bisa
dikurangi dalam arti memperpanjang ‘life
span’ dengan meminimalkan tingkat
subsidence dengan cara mengadopsi beberapa strategi pengelolaan yang benar
mengenai air, tanah dan tanaman.
Pengelolaan
air
1.
Drainase
Drainase merupakan
prasyarat untuk usaha pertanian, walaupun hal tersebut bukanlah suatu yang
mudah untuk dilakukan mengingat sifat dari gambut yang bisa mengalami
penyusutan dan kering tidak balik akibat drainase, sehingga sebelum mereklamasi
lahan gambut perlu diketahui sifat spesifik gambut, peranan dan fungsinya bagi
lingkungan.
Drainase yang baik
untuk pertanian gambut adalah drainase yang tetap mempertahankan batas air
kritis gambut akan tetapi tetap tidak mengakibatkan kerugian pada tanaman yang
akan berakibat pada hasil. Intensitas drainase bervariasi tergantung kondisi
alami tanah dan curah hujan. Curah hujan yang tinggi (4000-5000 mm per tahun)(Ambak dan Melling,
2000) membutuhkan sistem drainase untuk meminimalkan pengaruh banjir.
Setelah drainase dan
pembukaan lahan gambut, umumnya terjadi subsidence yang relatif cepat yang akan
berakibat menurunya permukaan tanah. Subsidence dan dekomposisi bahan organik
dapat menimbulkan masalah apabila bahan mineral di bawah lapis gambut terdiri
dari lempeng pirit atau pasir kuarsa. Kerapatan lindak yang rendah berakibat
kemampuan menahan (bearing capacity) tanah gambut juga rendah, sehingga
pengolahan tanah sulit dilakukan secara mekanis atau dengan ternak. Kemampuan menahan
yang rendah juga juga merupakan masalah bagi untuk tanaman pohon-pohonan atau
tanaman semusim yang rentan terhadap kerebahan (lodging) (Radjagukguk, 1990).
Bagi tanaman
perkebunan, usaha perbaikan drainase dilakukan dengan pembuatan kanal primer,
kanal sekunder dan kanal tersier. Hasil penelitian sementara di PT. RSUP
menunjukkan bahwa kelapa hybrida PB 121 pada umur 4 tahun (4-5 tahun setelah
tanam adalah 1,5 ton kopra/ha). Angka ini sementara 5 kali lebih besar dari
hasil yang dicapai di negara asalnya Afrika dimana PB 121 pada umur 4 tahun
menghasilkan 0,26 ton kopral/ha (Thampan, 1981 dalam Sudradjat dan Qusairi,
1992).
2.
Irigasi
Ketika batas kritis
air dapat dikontrol pada level optimum untuk pertumbuhan tanaman, pengelolan
air bukan merupakan suatu masalah kecuali pada tahap awal pertumbuhan tanaman.
Jika batas kritis air tidak dapat terkontrol dan lebih rendah dari kebutuhan
air semestinya, irigasi perlu dilakukan terutama bagi tanaman tertentu. Hal ini
penting untuk memasok kebutuhan air tanaman dan menghindari sifat kering tidak
balik. Sayuran berdaun banyak, menunjukkan layu pada keadaan udara panas.
Kondisi ini mungkin merupakan pengaruh dari dangkalnya profil tanah yang dapat
dicapai oleh akar tanaman dan kehilangan air akibat transpirasi yang lebih
cepat daripada tanah mineral (Ambak dan Melling, 2000).
Tanaman mempunyai
tahapan pertumbuhan yang sensitif terhadap stress air yang berbeda. Pengetahuan
tentang tahapan tersebut akan mempermudah irigasi pada saat yang tepat sehingga
mengurangi terjadinya stress air dan penggunaan air yang optimum. Untuk
penanaman tanaman semusim, pengaturan irigasi harus mempertimbangkan saat dan
kebutuhan tanaman dan disesuaikan dengan ketersediaan air tanah diatas water
table, jumlah air hujan, distribusi dan jumlah evapotranspirasi (Lucas,1982)..
3.
Penggenangan
Untuk meminimalkan
terjadinya subsidence, langkah yang bisa dilakukan adalah tetap mempertahankan
kondisi tergenang tersebut dengan mengadopsi tanaman-tanaman sejenis hidrofilik
atau tanaman toleran air yang memberikan nilai ekonomi seperti halnya Eleocharis
tuberosa, bayam cina (Amaranthus hybridus), kangkung (Ipomoea aquatica) dan
seledri air. Di Florida ketika tanaman
tertentu tidak bisa dibudidayakan karena perubahan musim, penggenangan dilakukan dan digunakan
untuk budidaya tanaman air tersebut (Ambak dan Melling, 2000).
Pengelolaan
Tanah
Tanah gambut
sebenarnya merupakan tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman bila ditinjau
dari jumlah pori-pori yang berkaitan dengan pertukaran oksigen untuk
pertumbuhan akar tanaman. Kapasitas memegang air yang tinggi daripada tanah
mineral menyebabkan tanaman bisa berkembang lebih cepat. Akan tetapi dengan
keberadaan sifat inheren yang lain seperti kemasaman yang tinggi, kejenuhan
basa yang rendah dan miskin unsur hara baik mikro maupun makro menyebabkan
tanah gambut digolongkan sebagai tanah marginal (Limin et al, 2000). Untuk
itulah perlunya usaha untuk mengelola tanah tersebut dengan semestinya.
1.
Pembakaran
Pembakaran merupakan
cara tradisional yang sering dilakukan petani untuk menurunkan tingkat
kemasaman tanah gambut. Terjadinya pembakaran bahan organik menjadi abu
berakibat penghancuran tanah serta menurunkan permukaan tanah. Pembakaran
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman pada tahun pertama dan
meningkatkan serapan P tanaman, namun akan menurunkan serapan Ca dan Mg
(Mawardi et al, 2001).
2. Bahan
pembenah tanah
Pemberian pupuk dan
amandemen dalam komposisi dan takaran yang tepat dapat mengatasi masalah
keharaan dan kemasaman tanah gambut. Unsur hara yang umumnya perlu ditambahkan
dalam bentuk pupuk adalah N, P, K, Ca, Mg serta sejumlah unsur hara mikro
terutama Cu, Zn dan Mo. Pemberian Cu diduga lebih efektif melalui daun (foliar
spray) karena sifat sematannya yang sangat kuat pada gambut, kurang mobil dalam
tanaman dan kelarutan yang menurun ketika terjadi peningkatan pH akibat
penggenangan. Sebagai amandemen, abu hasil pembakaran gambut itu sendiri akan
berpengaruh menurunkan kemasaman tanah, memasok unsur hara dan mempercepat
pembentukan lapis olah yang lebih baik sifat fisikanya (Radjagukguk, 1990).
Di Sumatera Barat
ditemukan bahan amelioran baru Harzburgite yang defositnya cukup besar dan
kandungan Mg yang tinggi (27,21 – 32,07% MgO) yang merupakan bahan
potensial untuk ameliorasi lahan gambut
(Mawardi et al, 2001).
Pupuk kandang khususnya
kotoran ayam dibandingkan dengan kotoran ternak yang lainnya mengandung
beberapa unsur hara makro dan mikro tertentu dalam jumlah yang banyak.
Kejenuhan basanya tinggi, tetapi kapasitas tukar kation rendah. Kotoran ayam,
dalam melepaskan haranya berlangsung secara bertahap dan lama. Tampaknya,
pemberian kotoran ayam memungkinkan untuk memperbaiki sifat fisika dan kimia
tanah gambut. Pada jagung manis, pemberian kotoran ayam sampai 14 ton/ha pada
tanah gambut pedalaman bereng bengkel dapat meningkatkan jumlah tongkol (Limin,
1992 dalam Darung et al, 2001).
PROSPEK
UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN
Potensi pengembangan
pertanian pada lahan gambut, disamping faktor kesuburan alami gambut juga
sangat ditentukan oleh tingkat manajemen usaha tani yang akan diterapkan. Pada
pengelolaan lahan gambut pada tingkat petani, dengan pengelolaan usaha tani
termasuk tingkat rendah (low inputs) sampai sedang (medium inputs), akan
berbeda dengan produktivitas lahan dengan tingkat manajemen tinggi yang
dikerjakan oleh swasta atau perusahaan besar (Subagyo et al, 1996)
Dengan manajemen tingkat sedang (Abdurachman
dan Suriadikarta, 2000), yaitu perbaikan tanah dengan penggunaan input yang
terjangkau oleh petani seperti pengolahan tanah, tata air mikro, pemupukan,
pengapuran dan pemberantasan hama dan penyakit, potensi pengembangan lahan
gambut untuk pertanian adalah sebagai berikut :
Pemilihan
jenis tanaman
1. Padi
sawah
Budidaya padi sawah
selalu diupayakan oleh petani transmigrasi untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Akan tetapi budidaya padi sawah di lahan gambut dihadapkan pada berbagai
masalah terutama menyangkut kendala-kendala fisika, kesuburan serta pengelolaan
tanah dan air. Khususnya gambut tebal (> 1 m ) belum berhasil dimanfaatkan
untuk budidaya padi sawah, karena mengandung sejumlah kendala yang belum dapat
diatasi. Kunci keberhasilan budidaya padi sawah pada lahan gambut terletak pada keberhasilan dalam pengelolaan
dan pengendalian air, penanganan sejumlah kendala fisik yang merupakan faktor
pembatas, penanganan substansi toksik dan pemupukan unsur makro dan mikro
(Radjagukguk, 1990).
Lahan gambut yang
sesuai untuk padi sawah adalah gambut dengan (20-50 cm gambut) dan gambut
dangkal (0,5-1 m). Padi kurang sesuai pada gambut sedang (1-2 m) dan tidak
sesuai pada gambut tebal (2-3 m) dan sangat tebal (lebih dari 3 m). Pada gambut
tebal dan sangat tebal, tanaman padi tidak dapat membentuk gabah karena kahat
unsur hara mikro Subagyo et al, 1996).
Pada tanah sawah
dengan kandungan bahan organik tinggi, asam-asam organik menghambat
pertumbuhan, terutama akar, mengakibatkan rendahnya produktivitas bahkan
kegagalan panen. Leiwakabessy dan Wahjudin
(1979) dalam Radjagukguk (1990) menunjukkan hubungan erat antara
ketebalan gambut dan produksi gabah padi sawah. Pada percobaan pot dengan tanah
yang diambil dari lapis 0-20 cm, diperoleh hasil gabah padi (ditanam secara
sawah) yang sangat rendah apabila tebal gambut > 80 cm, dan yang paling
tinggi apabila ketebalan gambut 50 cm. Ditunjukkan pula bahwa ada kesamaan
antara pola perubahan kejenuhan Ca, kejenuhan Mg, pH dan kandungan abu bersama
ketebalan gambut dengan perubahan tingkat hasil gabah. Sehingga kemungkinan
tingkat kemasaman dan suplai Ca yang rendah serta kandungan abu yang rendah
merupakan faktor pembatas utama pertumbuhan padi sawah pada gambut tebal.
Tidak terbentuknya
gabah menurut Andriesse (1988) dan Driessen (1978) berkaitan dengan defisiensi
Cu yang akan menyebabkan meningkatnya aktivitas racun fenolik dan menyebabkan male sterility pada tanaman padi.
2.
Tanaman perkebunan dan industri
Budidaya
tanaman-tanaman perkebunan berskala besar banyak dikembangkan di lahan gambut
terutama oleh perusahaan-perusahaan swasta. Pengusahaan tanaman-tanaman ini
kebanyakan dikembangkan di propinsi Riau dengan memanfaatkan gambut tebal.
Sebelum penanaman, dilakukan pemadatan tanah dengan menggunakan alat-alat
berat. Sistem drainase yang tepat sangat menentukan keberhasilan budidaya
tanaman perkebunan di lahan tersebut. Pengelolaan kesuburan tanah yang utama
adalah pemberian pupuk makro dan mikro (Radjagukguk, 1990). Tanaman perkebunan
sesuai ditanam pada ketebalan gambut 1-2 m dan sangat tebal (2-3 m) (Subagyo et
al, 1996)
Di Malaysia, diantara
tanaman perkebunan yang lain seperti kelapa sawit, sagu, karet, kopi dan
kelapa, nanas (Ananas cumosus) merupakan tanaman yang menunjukkan adaptasi yang
tinggi pada gambut berdrainase. Nanas bisa beradaptasi dengan baik pada keadaan
kemasaman yang tinggi dan tingkat kesuburan yang rendah. Kelapa sawit merupakan
salah satu tanaman tahunan yang cukup sesuai pada lahan gambut dengan ketebalan
sedang hingga tipis dengan hasil sekitar 13 ton/ha pada tahun ketiga penanaman
(Ambak dan Melling, 2000). Percobaan-percobaan yang dilakukan oleh PT. RSUP di
Indragiri Hilir, menunjukkan bahwa tanaman nenas tumbuh dengan baik dan mulai
berbuah 14 bulan setelah tanam. Dari hasil sementara menunjukkan bahwa,
penanaman nanas dengan kerapatan 20.000 pohon/ha yang ditanam diantara jalur
kelapa, tumpangsari kelapa nenas memberikan prospek yang sangat cerah
(Sudradjat dan Qusairi, 1992).
Sagu bisa beradaptasi
dengan baik dan memberikan hasil bagus tanpa pemberian input pupuk (Ahmad dan
Sim, 1976) pada gambut dengan minimum drainase, walaupun umur tanaman sampai
menghasilkan buah sangat lama (15-20 tahun).
Untuk jenis-jenis
pohon buah banyak ditemukan di Sumatra dan Kalimantan seperti jambu air
(Eugenia) Mangga (Mangosteen), rambutan (Ambak dan Melling, 2000) sedangkan di
daerah pantai Ivory dengan gambut
termasuk oligotropik, pisang dapat tumbuh dengan drainase 80-100 cm dan
menghasilkan 25-40 ton/ha walaupun dengan pengelolaan yang agak sulit
(Andriesse, 1988) .
Komoditas lain yang
berpotensi ekonomi untuk dikembangkan guna memenuhi kebutuhan domestik adalah
tanaman industri/keras seperti kelapa, kopi, lada dan tanaman obat (Abdurachman
dan Suriadikarta, 2000).
Tanaman rami dan obat-obatan tumbuh dan
berproduksi baik pada gambut sedang dan kurang baik pada gambut sangat dalam
(3-5 m) (Subagyo et al, 1996).
3.
Tanaman pangan (palawija) dan tanaman semusim lainnya
Tanah gambut yang
sesuai untuk tanaman semusim adalah gambut dangkal dan gambut sedang.
Pengelolaan air perlu diperhatikan agar air tanah tidak turun terlalu dalam
atau drastis untuk mencegah terjadinya gejala kering tidak balik (Subagyo et
al, 1996)
Tanaman pangan memerlukan kondisi drainase
yang baik untuk mencegah penyakit busuk pada bagian bawah tanaman dan
meminimalkan pemakaian pupuk. Cassava (Manihot esculenta) atau tapioka
menghasilkan lebih dari 50 ton/ha dengan pengelolaan yang baik dan merupakan
tanaman pangan yang penting pada gambut oligotropik tropis dengan drainase yang
baik (Andriesse, 1988).
Di Bengkulu, penanaman
jagung dengan penerapan teknologi yang spesifik untuk lahan gambut (teknologi
Tampurin) diperoleh hasil 3,29 ton/ha pada varietas Pioneer-12 (Manti et al,
2001).
Sementara untuk tanaman sayuran, Satsiyati
(1992) dalam Abdurachman dan Suriadikarta (2000) menyebutkan beberapa tanaman
hortikultura yang berpotensi ekonomi untuk dikembangkan di lahan gambut eks
PLG yaitu cabai, semangka dan nenas .
Di daerah Kalampangan
yang merupakan penghasil sayuran untuk Palangkaraya Kalimantan Tengah, petani
setempat mengembangkan sayuran diantaranya sawi, kangkung, mentimun yang
diusahakan secara monokultur dalam skala kecil dalam lahan kurang lebih 0,25
hektar (Limin et al, 2000). Di samping itu beberapa lahan gambut yang termasuk
lahan bongkor bisa diusahakan untuk berbagai tanaman seperti cabai
besar/keriting/kecil, terong, tomat, sawi, seledri, bawang daun, kacang
panjang, paria, mentimun, jagung sayur, jagung manis, dan buah-buahan (mangga, rambutan, melinjo, sukun,
nangka, pepaya, nanas dan pisang) karena lahan gambut tersebut termasuk tipe
luapan C/D (tidak dipengaruhi air pasang surut, hanya melalui rembesan air
tanah>50 cm di bawah permukaan tanah pada musim kemarau dan <50 cm pada
musim hujan) (Ardjakusuma et al, 2001)
Teknis
Bertanam
Untuk menghindari
penurunan permukaan tanah (subsidence) tanah gambut melalui oksidasi biokimia,
permukaan tanah harus dipertahankan agar tidak gundul. Beberapa vegetasi
seperti halnya rumput-rumputan atau leguminose dapat dibiarkan untuk tumbuh
disekeliling tanaman kecuali pada lubang tanam pokok seperti halnya pada
perkebunan kelapa sawit dan kopi. Beberapa jenis legume menjalar seperti Canavalia
maritima dapat tumbuh dengan unsur hara minimum (Singh, 1986) dan menunjukkan
toleransi yang tinggi terhadap kemasaman.
Pembakaran seperti
yang dilakukan pada perkebunan nanas harus mempertimbangkan pengaruhnya
terhadap kebakaran lingkungan sekitarnya. Akan lebih baik bila penyiangan
terhadap gula dikembalikan lagi ke dalam tanah (dibenamkan) yang akan berfungsi
sebagai kompos sehingga selain bisa memberikan tambahan hara juga dapat
membantu mempertahankan penurunan permukaan tanah melalui subsidence (Ambak dan
Melling, 2000).
Untuk tanaman hortikultura, pembakaran seresah
bisa dilakukan pada tempat yang khusus dengan ukuran 3 X 4 m. Dasar tempat
pembakaran diberi lapisan tanah mineral/liat setebal 20 cm dan sekelilingnya
dibuat saluran selebar 30 cm. Kedalaman saluran disesuaikan dengan kedalaman
air tanah dan ketinggian air dipertahankan 20 cm dari permukaan tanah agar
gambut tetap cukup basah. Ini dimaksudkan agar pada waktu pembakaran, api tidak
menyebar Ardjakusuma et al (2001).
1 comments:
infonya sangat bagus untuk dibaca
potato starch
Posting Komentar